..**Mengapa Air Rebusan Mi Instan Harus Dibuang???**..

25 01 2012

Mi instan merupakan salah satu makanan yang paling mudah ditemukan, praktis, dan disukai banyak orang karena rasanya yang enak. Daya simpannya yang lama juga membuat mi instan kerap menjadi pilihan untuk mereka yang tinggal sendiri, namun tak punya waktu untuk memasak.

Meski begitu, terlalu banyak mengonsumsi mi instan disinyalir akan menimbulkan banyak efek negatif bagi tubuh oleh karena kandungan bahan pengawet atau penyedap rasanya. Kemudian, selain kandungan karbohidrat, mi instan tak cukup memiliki kandungan vitamin, mineral, atau serat, yang bermanfaat bagi tubuh. Sehingga, pada dasarnya mi instan tidak cukup memiliki nutrisi bagi keseimbangan gizi tubuh manusia.

“Namun yang paling berbahaya adalah adanya kandungan bahan pengawet, MSG (monosodium glutamat), dan bahan pewarna makanan yang ada di dalam mi instan,” ungkap dr Patricia Wijaya, dokter ahli kecantikan dari Beauty Inc. kepada Kompas Female, usai peluncuran produk mi instan baru di Swiss Bel Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2012) lalu.
Kandungan bahan berbahaya dalam mi instan ini didapatkan dari proses pengolahan sampai proses pengawetan yang dilakukan dengan cara menggoreng mi sampai kering. Proses penggorengan biasanya menggunakan minyak goreng, yang membuat air rebusan menjadi keruh dan sedikit berminyak ketika direbus.

“Banyak orang yang mengatakan bahwa air rebusan pertama ini harus dibuang agar pengawetnya hilang. Namun sebenarnya zat pengawet ini tidak akan hilang,” tukas dr Patricia.
Air rebusan mi instan yang pertama akan mengeluarkan minyak dan zat kimia lainnya yang mungkin saja digunakan untuk membuatnya. Namun, bahan pengawet dan kandungan lain yang berbahaya bagi kesehatan ketika diolah lebih lanjut ini tidak akan hilang 100 persen. Ia hanya akan berkurang sedikit ketika air rebusan pertama dibuang.

Kandungan minyak, bahan pengawet, MSG, dan zat pewarna masih akan tetap menempel pada mi instan meski kadarnya sudah berkurang beberapa persen. Perlu Anda ketahui, penggunaan bahan pengawet tak selamanya membahayakan, karena produsen mi instan tentunya harus mengikuti standar aman yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun kandungan bahan kimia ini masih berpotensi untuk menyebabkan berbagai gangguan kesehatan bila dikonsumsi secara rutin. “Efek yang dirasakan memang adalah efek jangka panjang, misalnya gangguan pencernaan, konstipasi, sampai kanker pencernaan, dan lainnya,” tukasnya.

Dalam jangka panjang, bahan kimia tersebut juga akan sangat berbahaya bagi kecantikan wajah dan kulit. Kulit menjadi lebih kering, yang kelak akan menimbulkan berbagai gejala penuaan dini. Selain itu, mi instan juga akan merusak program diet Anda, karena kadar kalorinya tinggi. Sekali lagi, boleh-boleh saja menikmati mi instan, tetapi sebaiknya tidak dikonsumsi terlalu sering. Jangan menjadikan mi instan sebagai makanan utama, melainkan sebagai jajanan selingan saja. Tetaplah mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]





PT Biofarma, tak kapok kembangkan vaksin!

26 12 2011

vaksinJAKARTA– PT Biofarma, produsen vaksin sekaligus pemasok tunggal vaksin program imunisasi nasional tak kapok kembangkan vaksin, meski korban terus berjatuhan. PT Biofarma telah mengembangkan 3 vaksin baru sebagai produk unggulan perusahaan setelah permintaan atas vaksin polio menurun. Maklum, belum lama ini, dua balita meninggal dunia pasca imunisasi campak dan polio pada Oktober 2011 lalu.
Vaksin PT Biofarma, ikuti standard WHO
Sudah rahasia umum jika PT Biofarma sebagai produsen vaksin di Indonesia harus ikut standard organisasi kesehatan dunia, WHO, dalam pembuatan vaksinnya. Padahal, WHO sendiri sudah mengakui bahwa mereka akan mengurangi penggunaan babi dalam pembuatan vaksin.
Pendirian WHO sendiri tidak lepas dari sosok keluarga Rockefeller, seorang yahudi dan anggota zionisme internasional. Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh sejarah vaksin modern, Flexner Brother, yang mendanai vaksinasi pada manusia adalah keluarga si yahudi tadi, yakni Rockefeller.
Sebagaimana disampaikan Direktur Utama PT Biofarma (Persero) Iskandar, saat ini perusahaan membutuhkan produk unggulan baru karena program pemberantasan penyakit polio akan berakhir dalam waktu dekat.
“Tadinya WHO menargetkan virus polio akan habis pada 2014, walaupun kemudian dimundurkan lagi ke 2017,” katanya.
Vaksin polio, jelasnya, merupakan 50 % dari keseluruhan produksi vaksin Biofarma yang sampai 2010 sudah melebihi 1,7 miliar dosis.
Vaksin PT Biofarma halal?
Masalah halal haram vaksin sudah menjadi perdebatan sengit tanpa henti, meskipun keharaman vaksin begitu jelas dan tegas! Kekuatan dana perusahaan-perusahaan besar produsen vaksin kadangkala melenakan siapapun, termasuk akhirnya mengeluarkan fatwa pesanan.
“Vaksin imunisasi itu halal dan baik”, demikian ungkap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Maruf Amin, ketika memperingati Hari Anak Nasional serta seminar dan lokakarya nasional sosialisasi “Vaksin Imunisasi Halal dan Baik” di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta (Sabtu, 23/7).
Padahal, dari para peneliti PT Biofarma sendiri yang mengatakan bahwa bahan pembuatan vaksin yang mereka produksi adalah bahan-bahan yang diharamkan dan membahayakn umat manusia.
Profesor Jurnalis Uddin, seorang anggota MPKS (Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak), dalam sebuah acara dengan PT Biofarma dan Aventis untuk memberikan penjelasan tentang proses pembuatan vaksin polio mengungkapkan adanya tripsin babi dalam pembuatan vaksin polio, begitu juga dengan vaksin Meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline untuk para jama’ah haji.
Dori Ugiyadi, Kepala Divisi Produksi Vaksin Virus Biofarma membenarkan bahwa ketiga sel kultur tersebut dipakai untuk pengembangan vaksin influenza. “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio. Kemudian sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak,” ujarnya. Lalu, mengapa PT Biofarma masih saja terus dibiarkan memproduksi vaksin?
Vaksin, konspirasi jahat hancurkan Islam?
Pihak Biofarma melalui dirutnya, Iskandar mengungkapkan bahwa ada 3 produk utama yang rencananya akan diproduksi perusahaan dalam waktu dekat setelah memasuki tahap akhir dalam proses riset.
Produk Pentavalent Biofarma rencananya akan memasuki tahap uji coba Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun depan dan memasuki tahap komersialisasi pada 2014 jika lulus uji WHO.
Betulkah Biofarma mengajukan vaksinnya ke BPOM untuk diuji? Siapa yang bisa menjamin dan membenarkan hal tersebut? Maklum, faktanya di lapangan tidak demikian.
Prof.Dr.Tuntedja, dari LP POM MUI, berpendapat tentang sertifikat halal dari semua vaksin produk PT Biofarma, ternyata beliau menyampaikan bahwa PT Biofarma belum dapat dan belum daftar untuk diaudit.
Sementara itu, Dra.Hj.Welya Safitri, M.Si, Wakil Sekjen MUI pernah mengatakan : “MUI tidak pernah menghalalkan vaksin yang diproduksi PT Biofarma.”
Lalu, mengapa kyai sekelas Maruf Amin, ketua MUI pula, bisa dengan seenaknya mengeluarkan fatwa bahwa vaksin imunisasi itu halal dan baik, padahal dari LP POM MUI, dan Wakil Sekjen MUI tidak pernah menghalalkan vaksin yang diproduksi PT Biofarma.
Tentu ada konspirasi jahat di bidang medis untuk menghancurkan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Pekerjaan siapa lagi ini kalau bukan zoinis yahudi. Waspadalah….Waspadalah…!
(M Fachry/SehatIslamy.com/arrahmah.com)





Pengobatan Syirik atau tidak?

16 12 2011

Assalamualaikum wr.wb.

Pak ustadz yang saya hormati, kemarin saya mengantar teman saya keseorang tukang urut, tapi menurut orang-orang dia itu orang yang bisa mengetahui seseorang itu kesurupan atau menderita penyakit apapun, dia melihat anak teman saya lalu dia membaca seperti mantra dengan diawali basmallah tapi setelah itu yg dibaca bkn ayat al-qur’an tp salah satu’y dia menyebut “Eyang Puntren” dengan bantuan segelas air dia jg meminta rokok. yang membingungkan saya kenapa al-fateha disambung dengan mantra yg asing didengar. pertanyaan saya apakah itu termasuk syirik, jika kita berobat kesana apa kita jg termasuk syirik, sedangkan tukang urut itu adalah seorang ibu hajah, tapi memang benar orang yang berobat kesana dapat sembuh. Pak ustadz mohon jawabannya, terima kasih. Wassallamualaikum wr.wb

Jawaban

Assalamu alaikum wr.wb.

Pada masa sekarang ini memang banyak cara dan metode pengobatan. Di antara sekian banyak metode pengobatan tersebut ada yang sesuai dengan syariat dan banyak pula yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Pengobatan oleh dukun, orang pintar, paranormal, dst adalah contoh dari pengobatan yang seringkali keluar dari syariat. Kesembuhan bukan merupakan tolak ukur dan standar untuk menilai apakah ia sesuai syariat atau tidak. Sebab bisa jadi Allah memberikan kesembuhan meski caranya tidak sesuai. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara penyembuhannya.

Membaca surat al-Fatihah pada dasarnya baik dan bagus. Ia juga pernah menjadi media pengobatan yang dilakukan oleh sahabat di masa Rasulullah saw. Metode pengobatan dengan membaca bacaan tertentu semacam itu disebut dengan istilah ruqyah atau jampi.

Nah dalam Islam pada dasarnya praktek ruqyah diperbolehkan. Namun ia harus sesuai dengan batasan yang ditentukan. Jika tidak maka termasuk ruqyah yang terlarang dan bertentangan dengan syariah. Di antara batasan ruqyah syar’iyyah (yang diperbolehkan) adalah:

Bacaan ruqyah berupa ayat-ayat al-Qur’an dan do’a atau wirid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
Do’a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
Tidak isti’anah (minta tolong) kepada jin (atau yang lainnya selain Allah).
Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.
Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari’ah, khususnya dalam penanganan pasien lawan jenis.
Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.
Tidak minta diruqyah kecuali terpaksa. Sehingga ruqyah yang tidak sesuai dengan dhawabit atau kriteria di atas dapat dikatakan sebagai ruqyah yang tidak sesuai dengan Syari’ah.

Di bawah ini beberapa contoh ruqyah dan pengobatan yang tidak sesuai Syariah:

Memenuhi permintaan jin.
Ruqyah yang dibacakan oleh tukang sihir.
Bersandar hanya pada ruqyah, bukan pada Allah.
Mencampuradukan ayat-ayat Al-Qur’an dengan bacaan lain yang tidak diketahui artinya.
Meminta bantuan jin
Bersumpah kepada jin
Ruqyah dengan menggunakan sesajen
Ruqyah dengan menggunakan alat yang dapat mengarah kepada syirik dan bid’ah
Memenjarakan jin dan menyiksanya

Dengan melihat kriteria di atas, maka pengobatan yang Anda maksudkan di atas lebih mengarah kepada pengobatan yang dilarang. Karena itu, hendaknya dihindari. Juga kepada teman Anda hendaknya diberi nasihat agar tidak datang ke tempat pengobatan yang semacam itu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb





Cara Mengobati Penyakit Iri

16 12 2011

Assalamu’alaikum wr wb.

Pak ustaz yang saya hormati, bagimana cara menghilangkan rasa iri terhadap orang lain, dan bagaimana cara menghilangkan penyakit hati iri tersebut dari hati saya

Jawaban

Assalamu alaikum wr.wb.

Iri adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia memberikan sejumlah dampak negatif baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang selalu iri terhadap orang lain tidak akan pernah merasa tenang di dunia dan akhirat bisa melahap amal-amal kebaikan yang dilakukannya.

Karena itu penyakir iri ini harus segera diobati dan diterapi. Di antaranya dengan cara sebagai berikut:

1. Meminta dan berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah menyembuhkan penyakit tersebut.

2. Banyak mengingat mati; sebab hal itu akan mengurangi rasa tamak terhadap dunia dan memendekkan angan-angan yang seringkali menjadi sumber munculnya rasa iri.

3. Menyadari bahwa segala sesuatu telah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah. Dia yang membagi rezeki dan karunia-Nya kepada makhluk sesuai dengan pengetahuan dan hikmah-Nya. Karena itu, manusia harus ridha dengan pembagian dan takdir Allah.

4. Bersyukur, senang, dan merasa cukup dengan pemberian Allah. Sebab apa yang Allah berikan itulah yang terbaik untuk kita. DI sisi lain rasa syukur tersebut menjadi sebab datangnya tambahan nikmat dari Allah.

5. Tidak banyak bergaul dengan orang yang hidup bermewah-mewahan dan orang yang memiliki rasa iri.

6. Menyibukkan diri dengan berbagai amal ketaatan sehingga tidak ada kesempatan untuk mengembangkan rasa iri terhadap orang.

7. Melihat kepada orang yang kehidupan dunianya berada di bawah kita.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Wassalamu alaikum wr.wb.





Pascaimunisasi, Dua Balita Tewas

4 11 2011

BEKASI–: Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi melakukan investigasi terkait kematian dua balita pascavaksinasi pada program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang diselenggarakan pemerintah daerah setempat.

Kedua balita malang tersebut yakni Hanif M Husnaya dan Irma Nur Fauziah.

“Kami masih mencari data penyebab kematian korban dari petugas pelaksana imunisasi di posyandu (pos pelayanan terpadu) masing-masing tempat,” ujar Kepala Dinkes Anne Nur Chandrani Handayani, Kamis (3/11).

Menurut dia, pihaknya belum bisa menyimpulkan bahwa vaksinasi menjadi penyebab petaka tersebut. Pihaknya membantah disebut terlambat menangani kasus demikian.

Kedua balita tersebut diketahui meninggal beberapa hari setelah mendapat dua vaksinasi campak dan polio sekaligus.

Hanif yang merupakan warga Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, diberi vaksinasi pada Selasa (18/10) di Posyandu Kebalen. Malam hari usai imunisasi, balita buah cinta Awal Adiguna dan Eva, muntah-muntah disertai demam tinggi.

Balita tersebut akhirnya dirujuk ke RS Mekarsari Bekasi Timur. Lantaran demam tidak kunjung mereda, Hanif menghembuskan nafas terakhir pada Jumat (21/10). (GG/OL-5/micom)





Pencegahan Penyakit di Masa Khilafah

25 10 2011

Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.

Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah. Baru 40 persennya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.

Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.

Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.

Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.

Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19. Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella). Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah! Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya. Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.

Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.

Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.

Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.

Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.

Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.





KONSPIRASI MENGANCAM ANAK KITA (Imunisasi Campak & Polio Nasional )

25 10 2011

Pernyataan Sikap Sharia4Indonesia (Divisi Pelayanan Umat-Bidang Kesehatan)

Menolak Kampanye dan Pelaksanaan Imunisasi Campak dan Polio Serentak di 17 Provinsi (18 Oktober – 18 November 2011)

Kementerian Kesehatan menggandeng produsen vaksin nasional terbesar di Indonesia, PT Bio Farma akan melakukan kampanye dan pelaksanaan imunisasi campak dan polio serentak di 17 provinsi di Indonesia, mulai tanggal 18 Oktober – 18 November 2011.

Terkait dengan rencana tersebut, Sharia4Indonesia (Divisi Pelayanan Umat-Bidang Kesehatan) menyatakan dengan tegas MENOLAK kampanye dan pelaksanaan imunisasi campak dan polio yang dilakukan serentak di 17 provinsi tersebut.

Alasan penolakan tersebut adalah:

1. Al-Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 168, yang berbunyi: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi. Dan janganlah engkau mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”

2. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan lainnya yang dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: “Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan (diri sendiri maupun orang lain).”

3. Fakta bahwa Imunisasi bukan saja tidak berguna dalam mencegah penyakit tetapi juga kontraproduktif karena melukai sistem kekebalan tubuh yang meningkatkan resiko kanker, penyakit kekebalan tubuh, dan SIDS yang menyebabkan cacat dan kematian.

Selain menolak kampanye dan pelaksanaan imunisasi campak dan polio yang dilakukan serentak di 17 provinsi tersebut, Sharia4Indonesia (Divisi Pelayanan Umat-Bidang Kesehatan) juga menuntut dan merekomendasikan beberapa hal berikut, yakni:

1. Penghentian kampanye dan pelaksanaan imunisasi campak dan polio yang dilakukan serentak di 17 provinsi, karena telah terbukti menghasilkan kondisi sakit, cacat, bahkan kematian pada si penerima vaksin, terutama bayi dan anak-anak.

2. Mengganti kampanye dan pelaksanaan imunisasi campak dan polio tersebut dengan kampanye dan pelaksanaan imunisasi ala Nabi SAW, yakni dengan kembali ke pengobatan Rasulullah SAW (Thibbbun Nabawi)

3. Untuk pencegahan (tindakan preventif) pengganti imunisasi ala Nabi SAW., adalah dengan cara tahnik untuk bayi, dan pemberian ASI. Serta bekam (hijamah) untuk anak-anak, remaja, dan dewasa, serta orang tua.

4. Memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menjaga sistem kekebalan tubuh dengan cara mengkonsumsi obat-obatan herbal resep Rasulullah SAW., serta menjaga pola makan yang sehat, halalan thoyibban.

5. Memberikan advokasi (pembelaan hukum) kepada seluruh warga masyarakat yang telah sadar akan bahaya imunisasi dan menolaknya, lalu kemudian mendapatkan intimidasi ataupun segala bentuk ancaman dan kezaliman.

Demikian pernyataan sikap, tuntutan, serta rekomendasi Sharia4Indonesia (Divisi Pelayanan Umat-Bidang Kesehatan) atas kampanye dan pelaksanaan Imunisasi Campak dan Polio Serentak di 17 Provinsi (18 Oktober – 18 November 2011) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan PT Bio Farma. Semoga bisa menjadi peringatan bagi siapapun yang mau mengambil pelajaran.

“Janganlah engkau mencampuradukkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah engkau tutupi kebenaran, padahal engkau mengetahui” (Qs. Al Baqarah 42).

Blitar, 16 Oktober 2011

Hj. Ummu Salamah SH, Hajjam

Ketua Sharia4Indonesia (Divisi Pelayanan Umat-Bidang Kesehatan)





Makanan Haram Berefek Negatif, Waspadalah!

22 10 2011

Rizki kita dijamin Allah. Tapi, sekalipun demikian, masih banyak orang yang menggunakan cara-cara haram dalam mencarinya. Tak sedikit di antara kita sering mengucapkan, “mencari yang halal saja susah, apalagi yang haram.” Kadangkala, pernyataan seperti ini tak hanya sebatas di mulut, bahkan sudah menjadi bagian dari hidupnya sehingga tak pernah memiliki sikap kehati-hatian dalam urusan mencari rizki.

Bagaimanapun, Islam mengajarkan umatnya mencari rizki yang halal, betatapun susahnya. Mestinya, kita ingat pesan Rasulullah SAW ini: ”Janganlah kalian malas mencari rizki, karena sesungguhnya seorang hamba itu tidak akan meninggal dunia sebelum rizki terakhir yang menjadi miliknya sampai kepadanya. Berusahalah dengan baik, mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR Baihaqi dan Hakim).

Seorang mukmin wajib mencari rizki dengan cara terhormat. Ia harus yakin dengan kemurahan Allah. Pesan Nabi SAW soal rizki yang harus kita cari dengan cara yang baik selaras dengan ajaran Allah.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya.” (QS Al-Mulk [67]: 15).

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al Maidah 5:88 )

Allah meminta kita untuk mengumpulkan harta dengan cara yang halal, lalu membelanjakannya dalam hal yang halal pula. Kelak, dari mana harta kita peroleh dan untuk apa digunakan harus kita pertanggungjawabkan. Ketahuilah, pada hari kiamat nanti kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak sebelum dia ditanya tentang lima hal; tentang usianya untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa dilewatkan, tentang ilmunya untuk apa diamalkan, tentang hartanya dari mana didapatkan serta untuk apa dibelanjakan, dan tentang waktunya untuk apa digunakan.

Allah itu MahaBaik dan hanya mau menerima yang baik-baik saja. Maka, siapa yang mengumpulkan harta dari yang halal, kemudian dia belanjakan untuk hal-hal yang halal, dia adalah orang yang pantas selamat dan bahagia. Sebaliknya, siapa yang menghimpun harta dari yang haram, dia adalah orang yang pantas mendapat balasan siksa kendatipun ia membelanjakannya untuk kebaikan-kebaikan.

Seorang mukmin harus yakin pada karunia Allah. Maka, kita harus selektif dan berhati-hati dalam mencari rizki. Islam melarang mencuri, merampas hak orang lain, menipu, curang, dan terlibat suap-menyuap. Islam mengategorikan setiap harta yang diterima tanpa melalui cara-cara yang dibenarkan syariat sama dengan memakan harta dengan bathil.

Menentukan ‘Wajah’ dan menghalangi Doa

Allah itu MahaBaik, dan hanya mau menerima yang baik-baik saja. Maka, tinggalkanlah yang haram! Barangsiapa memakan yang haram, maka doanya tidak dikabulkan selama empat puluh hari. Itu pesan Nabi kita.

Rasulullah SAW menceritakan tentang seorang pengembara berambut kusut dan dengan wajah bersimbah debu yang makanannya haram, pakaiannya haram, rumahnya haram, dan yang dibawanya juga haram. Ia berdoa, “Yaa Allah, Yaa Allah,” agar diperkenankan doanya. Namun, bagaimana doa itu akan dikabulkan Allah, sementara yang dikonsumsinya adalah makanan haram?

Umar bin Khaththab RA mengatakan: Pada Perang Khaibar, beberapa sahabat Nabi SAW muncul dan berkata, ”Si Fulan gugur sebagai syahid, dan si fulan gugur sebagai syahid”. Lalu, mereka menyebut seseorang dan berkata,”Si Fulan juga gugur sebagai syahid”. Nabi SAW bersabda, “Sekali-kali tidak, karena sesungguhnya aku melihatnya berada di neraka gara-gara mantel yang dicurinya dari harta ghanimah sebelum dibagikan.”

Hari ini, bangsa kita diguncang penyakit korupsi. Kata lain praktik pencurian yang dilakukan para pejabat di berbagai instansi. Kita semua sering mengecam perilaku ini. Sayang, kadang, secara tak terasa, kita sudah mempraktikkannya secara kecil-kecilan.

Misalnya, minta bon kosong agar bisa memark-up uang perusahaan, mengurangi timbangan, mencuri bensin, korupksi waktu, bekerja di tempat-tempat yang mendukung maksiat dll.

Bagaimanapun, jika kita bekerja dengan tidak baik atau di tempat tidak baik, peluang rizki tidak halal kemungkinan kita peroleh.

Karena itu, carilah makanan yang halal dan dari usaha yang diridhai-Nya, supaya Allah berkenan menerima amal dan mengabulkan doa kita.

Cermatilah ini: Sa’ad bin Abi Waqqash RA datang menemui Nabi SAW dan berkata: ”Wahai Rasulullah SAW, tolong berdoalah kepada Allah SWT agar Dia berkenan menjadikan aku orang yang doanya dikabulkan”. Nabi SAW bersabda: “Wahai Sa’ad, makanlah yang halal-halal, niscaya doamu dikabulkan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang bertakwa seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul.”

Allah sangat menganjurkan umat Islam mencari makanan yang baik-baik dan halal saja.

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

”Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku MahaMengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mu’minun [23]: 51).

Perintah Allah di atas itu sangat penting, antara lain karena mengandung hikmah. Sebab makanan berpengaruh dominan bagi orang yang mengomsumsinya.

Syeikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, pernah mengatakan, makanan (yang halal maupun yang haram), tak hanya berpengaruh kepada hati dan perilaku individu saja tapi juga berefek kepada masyarakat.

Masyarakat yang mengonsumsi makanan halal dan didominasi kejujuran dalam bermuamalah, maka warganya akan tumbuh menjadi sebuah komunitas yang bersih, saling menolong, dan kokoh.

Sementara, masyarakat yang terbelit praktik risywah (suap-menyuap) atau korupsi, tipu-menipu dan tersebarnya makanan yang haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai-berai, individualistis, tak mengenal kerjasama untuk saling menolong, hina di mata masyarakat lain, dan juga menjadi ladang subur berkembangannya sifat-sifat buruk lainnya.

Makanan-makanan yang buruk bisa merusak tabiat manusia.

Menurut Ibnu Taimiyyah (majmu’ Fatawa 10/21), Allah mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak maupun aspek lainnya. Keganjilan perilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang haram, sesuai dengan kadar kerusakan yang dikandung makanan tersebut.

Selain itu, makanan juga mempengaruhi doa kita dikabulkan atau tidak. Semakin banyak masuk makanan haram dan riba, semakin kecil doa kita diterima.

Rasulullah berkata, “Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kamu menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya. Sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama empat puluh hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani)

Jadi, berhati-hatilah! Marilah kita mencari rizki yang halal dan dengan cara halal pula. Selain itu, marilah sebagian rizki yang halal tadi kita belanjakan untuk mendapatkan makanan yang halal dan baik.

Miftahuddin, penulis adalah dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya
(hidayatullah.com)





PENCEGAHAN PENYAKIT DI MASA KHILAFAH

21 10 2011

Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar

… Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.

Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah. Baru 40 persennya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.

Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.

Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.

Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.

Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19. Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella). Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah! Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya. Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.

Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.

Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.

Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.

Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.

Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.





1 Juta Anak Indonesia Mengalami Gizi Buruk

19 10 2011

Jakarta, Gizi buruk pada anak sampai saat ini masih menjadi masalah di Indonesia. Diketahui sampai tahun 2011 ini ada sekitar 1 juta anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk.
“Ada sekitar 1 juta anak gizi buruk di Indonesia diantara 240 juta penduduk Indonesia,” ujar Direktur Bina Gizi Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Dr dr Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, dalam acara seminar Hospital Expo di JCC, Jakarta, Rabu (19/10/2011).
Dr Slamet menuturkan kebanyakan berada di daerah timur Indonesia seperti di daerah NTT dan Maluku. Salah satu faktor penyebanya karena letak geografisnya seperti jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan.
Lebih lanjut Dr Slamet menjelaskan ada 3 hal yang bisa menyebabkan anak mengalami gizi buruk yaitu:
1. Faktor kesediaan pangan, dalam hal ini berhubungan dengan jual beli seperti tidak tersedianya pangan yang cukup.
2. Faktor perilakunya, misalnya di daerah tersebut pangannya tersedia tapi caranya tidka benar seperti anak baru 1 bulan sudah dikasih pisang kenapa tidak diberikan ASI eksklusif saja.
3. Faktor pendidikan, kurangnya edukasi dimasyarakat.
“Untuk itu harus dilihat dulu apa penyebabnya, lalu bisa dicari solusinya seperti bagaimana cara meningkatkan pendapatan masyarakat atau ada juga yang memberikan pemberian makanan tambahan,” ujar Dr Slamet
Asupan gizi yang cukup seharusnya sudah dilakukan pada masa kehamilan hingga usia balita (periode emas), hal ini karena kekurangan gizi bisa mempengaruhi kecerdasan dan pertumbuhan anak.
Penanganan masalah gizi buruk ini perlu mendapatkan perhatian serius karena gizi buruk tidak hanya berhubungan dengan penyakit tetapi juga berdampak pada pertumbuhan tinggi badan yaitu membuat anak menjadi pendek.
Salah satu solusi jangka panjang yang bisa diberikan adalah masyarakat harus mendapat penyuluhan mengenai pentingnya gizi dan cara mengolah makanan yang benar. Serta edukasi mengenai kebersihan, sanitasi yang baik harus diupayakan sesuai dengan kemampuan ekonominya. (detikhealth.com, 19/10/2011)