Indonesia Butuh Pemimpin Negarawan Sejati

13 11 2011

Oleh: Ali Mustofa Akbar

Meski sesuai jadwal pilpres diselenggarakan masih sekitar dua tahun lagi, akan tetapi aroma persaingan menuju RI 1 sudah mulai menggeliat. Beredar nama-nama mentereng semacam Ani Yudhoyono, Abdurizal bakri, Prabowo, dan tak ketinggalan pula nama klasik seperti Megawati Soekarno Putri.

Sementara itu dari kalangan profesional, muncul sosok fenomenal yang pernah terlibat skandal Bank Century, Sri Mulyani. Meski bukan berasal dari partai politik, nama Sri Mulyani tampak cukup berkibar dalam peredaran. Bahkan partai SRI pun siap mengusungnya menuju pilpres mendatang. Mantan menteri keuangan ini juga baru saja mendapat “hadiah pencitraan” dari Majalah Forbes yang telah menobatkan dirinya sebagai salah satu wanita berpengaruh di dunia.

Pada pemilu 2009 lalu pun sebenarnya Sri Mulyani nyaris dipinang SBY untuk mendampingi sebagai Cawapresnya. Pertanyaannya, apakah ada kekuatan besar dibelakang wanita yang sekarang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Negri ini memang sedang mencari sosok pemimpin idaman. Pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi negara merdeka sepenuhnya, bukan sekedar menghantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan, sebagaimana dalam pembukaan UUD 45, belum masuk ke dalam kemerdekaan sepenuhnya.

Penjajahan ini bukan lagi dalam bentuk fisik, melainkan secara non fisik. Hal ini tercermin dari tatanan politik yang opurtunistik, ekonomi kapitalistik, sosial budaya hedonistik yang sekarang ini mewabah di negri ini.

Alhasil, Indonesia butuh seorang pemimpin yang jujur, adil dan tegas. Pemimpin yang berani mengambil keputusan tepat demi kemaslahatan bangsanya, bukan pemimpin yang peragu, pemimpin yang lebih mengerti urusan rakyatnya ketimbang urusan pribadi dan golongannya, juga bukan pemimpin yang hanya mencari restu sang tuan asing.

MR Kurnia (majalah al-waie) menyebut bahwa paradigma membentuk kepemimpinan yang kuat ialah harus memiliki tiga unsur: 1. Kualitas dan integritas personal, 2. Sistem yang diterapkan, 3. Sikap pihak yang dipimpin.

Pertama, pemimpin amat penting untuk memiliki kualitas dan integritas yang mumpuni. Tidak perlu ada dikotomi antara muda dengan tua, yang penting adalah kapabelitas. Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi menjadi pelayan masyarakat. Sementara itu, pemimpin yang hanya menipu rakyat, bermuka dua, atau menjadi antek asing jelas tidak bisa diharapkan.

Kedua, sistem yang diterapkan harus sistem terbaik. Sebagai contoh, seorang pemimpin paling hebat sepanjang masa, adalah Muhammad Saw, seorang yang mulia dan amanah, pada saat menjadi pemimpin Negara Islam Madinah saat itu juga memerlukan sebuah sistem aturan yang baik, berupa sistem Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ketiga, pihak yang dipimpin alias rakyat harus senantiasa melakukan kontrol terhadap pemimpin. Ketika pemimpin mengambil kebijakan yang tidak tepat, maka masyarakat meski mengoreksinya. Karena pemimpin juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Sehingga diperlukan masyarakat yang sadar politik pula.

Sejatinya negri ini sedang terpenjara dalam kerangkeng sistem Kapitalisme-sekular. Siapapun pemimpin yang akan terpilih, selama masih dalam kerangka sistem ini maka hasilnya tetap nol, apalagi jika sampai yang terpilih adalah pengemban kapitalisme sejati.

Sudah saatnya masyarakat tidak mudah terlena dengan slogan-slogan perubahan, atau janji manis terwujudnya kesempurnaan demokrasi. Ralp Nader (1972) menjelaskan bahwa dalam sistem sekular seperti ini para kapitalis yang banyak berdaulat. Sedangkan H Newton (1963) bertutur bahwa kekuasaan diperuntukkan bagi siapa pun yang mampu membayarnya.

Karena itu, Indonesia membutuhkan pemimpin sejati untuk membawa negri ini menuju Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang bertaqwa, pemimpin yang mau menerapkan aturan-Nya secara keseluruhan.

Para khalifah di masa kekhilafahan Islam tentu layak untuk dijadikan panutan. Keberhasilannya dalam memimpin Negara telah mampu menorehkan tinta emas peradaban. Menjadikan masyarakat yang mulia dan sejahtera.

‘Ala kulli hal, siapapun boleh naik (asal sesuai dengan kriteria Islam). Tak perlu pula adanya perdebatan yang tidak mendasar terkait pendikotomian tua-muda. Yang paling utama, syariah Islam harus diterapkan secara kaffah dalam bingkai Negara khilafah. Karena hanya ini yang bisa diandalkan untuk menyelamatkan bangsa. Wallahu a’lam.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar